J.Brown's Blog
SEBUAH POTRET KEHIDUPAN
GADO-GADO
segala macam kritik dan saran pun saya terima dengan senang hati.
Terimakasih atas kunjungan anda.^^
Sabtu, 12 Mei 2012
Sarana Dakwah
Hidup Adalah Pilihan
Apa hal yang paling membuat gelisah dalam hidup ini?
Dah lama ni gak nulis. Pengen share “sesuatu” yang lari-lari di pikiranku. :p
Beberapa hari gak ada getar-getar cinta dari “dia” galau, sms gak dibales galau, “nunggu” kelamaan galau, mau milih yang mana galau, lama gak ketemu galau, dikit-dikit up date status/ ngetweet galau, pokoknya dikit-dikit galau, bahkan kalo bingung mau makan apa jadi galau (kalo yang ini galaunya gara-gara gak punya duit. Haha..)
Senin, 07 November 2011
Menjemput Cinta-Nya
“Hei, ayo berangkat! Anak-anak udah kumpul semua tuh.” Dika menepuk bahuku membubarkan lamunan.
Minggu pagi, di alun-alun sebuah kota kecil di Jawa Tengah, deretan sepeda motor terparkir sembarangan. Suara mesin yang mulai dinyalakan menderu memecahkan kesunyian pagi itu.
Perasaanku galau, tidak ada euforia seperti biasanya ketika akan berpetualang bersama para rider. Akulah satu-satunya rider cewek. Nekat? Mungkin. Sebenarnya Ibu melarangku ikut touring ini. Tapi, aku bukan Bilqis namanya jika menurut begitu saja larangan itu. Semakin dilarang, maka semakin berontak.
Tigapuluh kilometer meninggalkan kota kecil itu, jalan aspal penuh lubang membelah hutan membentuk tikungan-tikungan tajam. Hanya satu dua mobil dan truk yang lewat. Jalan yang sepi membuat anganku kembali melayang teringat kejadian tadi pagi.
***
“Ibu, aku berangkat.” Aku mencium tangan lembut Ibu.
“Hati-hati ya, nduk! Jangan ngebut-ngebut. Pamitan dulu sama Ayah sana!” Ibu mengusap kepalaku.
“Hmmm….” Aku hanya menggumam sambil membalikkan badan menuju belakang rumah.
“Pak Santo, aku berangkat.” Aku menyalami dan mencium tanganya sekilas demi menjaga perasaan Ibu.
“Iya, Hati-hati ya.” Pak Santo, begitulah aku memanggil Ayah tiriku.
“Bilqis! Sudah berapa kali Ibu bilang jangan panggil namanya. Panggil beliau Ayah!” Ibu menarik tanganku. Tatapan matanya tajam, tetapi seolah memohon.
“Nggak mau! Bilqis cuma punya satu Ayah.” Jawabku ketus sambil menyibakkan poniku kebelakang sebelum memakai helm. Bagiku panggilan Ayah hanya untuk Ayah kandungku saja. Titik!
“Tapi beliau juga Ayahmu. Beliau sudah membiayai sekolah dan hidupmu selama ini.” Ibu melepas cengkeraman tangannya dari lenganku.
Aku menyalakan mesin motor tidak menghiraukan perkataannya. Sorot mata ibu meredup ketika kuintip dari spion sepeda motor.
“Assalamu’alaikum!” Aku pergi meninggalkan rumah tanpa menoleh ke arah Ibu. Tidak sanggup melihat sorot mata itu.
***
Pertengkaran seperti itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Kedua orang tuaku bercerai ketika aku masih menggunakan seragam merah putih. Kepolosan seorang gadis kecil, membuatku tidak mengerti arti sebuah perpisahan. Sebuah perpisahan yang menorehkan luka di hati dan tidak akan pernah kering. Luka itu mulai terinfeksi ketika nalarku mulai mengerti kepahitan hidup ini. Perbincangan negatif orang-orang sekitar, sorot tatapan mereka yang mengasihaniku dan film-film mengenai betapa buruknya sebuah perceraian, jahatnya seorang Ayah atau Ibu tiri menanamkan virus-virus kebencian di hatiku. Virus-virus itu mulai menjalar ke seluruh tubuh, perlahan-lahan menggerogoti kebaikan dan keluguan seorang anak kecil. Aku mulai membenci sebuah perpisahan, membenci kenyataan pahit ini, membenci kehidupan ini, bahkan membenci Tuhan, –Allah SWT.
Emosi yang meluap di dada memacuku untuk menambah kecepatan laju sepeda motor. Sembilan puluh kilometer perjam di jalan pegunungan yang dipenuhi lika-liku tajam, cukup membuat malaikat pencabut nyawa menari-nari diatas kepalaku.
“THOOONNN..!!!”
Suara klakson truk yang memekakkan telinga membuyarkan lamunanku. Sebuah truk besar pengangkut pasir menyalipku dari belakang. Suara klakson yang sempat mengagetkanku, membuat sepeda motor oleng, kehilangan kendali. Beruntung aku bisa menghindari truk itu dan tidak tergilas roda-roda raksasanya. Tetapi sebuah lubang aspal yang berjarak lima meter di depanku, tidak dapat dihindari. Dalam hitungan detik, ban depan sepeda motorku terjerembab ke dalam lubang. Sepeda motorku terbanting, terseret beberapa meter, menghantam pohon pinus di tepi jalan. Tiba-tiba semuanya gelap.
Kenangan-kenangan masa kecilku yang indah, terlihat jelas dalam alam bawah sadarku. Sebuah keluarga kecil yang hidup dengan segala kesederhanaan yang ada, tetapi dipenuhi dengan ketulusan. Canda tawa dan kebersamaan kami adalah harta paling berharga yang tidak bisa di beli dengan uang.
“Bilqis, kamu dengar suara Ibu, Nduk?” Samar-samar aku mendengar suara memanggil namaku. Cahaya putih menyilaukan berpendar menusuk mata, mengaburkan pandangan. Aku mencoba membuka mata, tetapi seperti mengangkat beban ribuan ton. Berat. Semuanya kembali hitam.
Kilas balik mimpi indah yang kulihat sebelumnya muncul kembali. Tetapi, mimpi indah itu berubah menjadi nightmare yang tidak bisa terhapus dalam memori ingatanku. Senyuman tulus itu berubah menjadi seringai penuh kebencian.
Terlihat jelas saat tiba-tiba ibu memelukku dengan derai air mata dan mengatakan bahwa ayah dan ibu telah berpisah. Gadis kecil yang polos dan tidak mengerti apa yang dimaksud dengan “perpisahan”, hanya bisa ikut menangis. Bingung. Itulah kali pertamanya aku melihat Ibu menangis. Ibu yang selalu tegar menghadapi segala kesulitan yang ada, saat itu tidak sanggup menahan rasa sakit di relung hatinya. Ibu terlihat sangat rapuh.
Terlihat jelas saat teman-temankku yang sedang bermain dirumah, satu persatu pergi dengan muka ketakutan mendengar pecahan piring dan suara gaduh orang bertengkar di dapur. Masa-masa sulit yang aku alami, membalikkan kehidupanku seratus delapan puluh derajat. Kenangan-kenangan buruk itu kembali diputar, seperti menonton film-film pendek yang menyayat hati. Menghapus kepolosan dan keluguan anak-anak. Menggoreskan luka yang tidak pernah kering.
“Bilqis, ayo bangun, Nduk.” Sebuah tangan lembut menggenggam jariku. Aku terbangun dari mimpi buruk yang sangat panjang. Memori kelam itu kembali memenuhi kepalaku. Luka itu seperti tersiram air garam. Perih.
Kehidupan ekonomi keluargaku sekarang memang lebih baik dari sebelumnya. Tetapi kebahagiaan itu tidak lekas hadir seiring tercukupinya kebutuhan-kebutuhan kami. Aku masih belum bisa menerima kehadiran “orang ketiga” dalam keluarga baruku. Tidak ada ketulusan. Hampa. Aku merindukan keluarga kecil itu dengan segala kesederhanaannya. Aku suka kesederhanaan karena sederhana itu dekat dengan ketulusan.
“Dimana?” hanya itu yang bisa kuucapkan. Mataku mengerjap-ngerjap mencoba menghilangkan labirin-labirin kabut yang menutupi pandanganku.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Kamu di rumah sakit, Nduk. Dari kemarin kamu tidak sadarkan diri.” Samar-samar aku melihat wajah Ibu. Beliau terlihat sangat khawatir.
Perlahan-lahan kesadaranku mulai pulih. Aku teringat akan kecelakaan yang menimpaku. Sekarang aku terbaring tidak berdaya. Jarum selang infus dan darah menghujam nadi ditanganku. Perban membalut luka-lukaku. Aku mencoba menggerakkan kaki dan tangan, tapi seluruh tubuhku mati rasa.
“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Luka-lukamu masih basah.” Ibu mencoba menenangkanku dan menceritakan bagaimana keadaanku saat ini. Kaki kiriku patah dibagian betis karena tertimpa sepeda motor sehingga harus dioperasi dan dipasang platina. Tubuhku babak belur, ada beberapa luka yang harus dijahit.
Kenyataan ini menghempaskanku dalam jurang keterpurukan yang lebih dalam. Tidak ada lagi Bilqis si petualang yang berani menjelajahi tempat-tempat penuh tantangan. Tidak banyak yang bisa aku lakukan dengan kondisi seperti ini.
Aku semakin merasa bahwa Tuhan tidak adil kepadaku. “Tidak cukupkah cobaan yang selama ini Dia berikan kepadaku?” Dia merampas semua yang kumiliki. Tidak ada lagi hal yang bisa kulakukan untuk melampiaskan amarahku.
Sepuluh hari aku harus dirawat dirumah sakit. Enam bulan aku harus istirahat dirumah, meninggalkan bangku sekolah untuk sementara. Padahal baru tiga bulan aku mengenakan seragam putih abu-abu. Beruntung aku mempunyai sahabat seperti Dika yang selalu setia menemaniku dan membantuku belajar dirumah. Dika adalah sahabatku sejak kecil. Dia adalah cowok sholeh dan nggak suka neko-neko. Dika membuatkan catatan-catatan pelajaran yang dia dapat di sekolah.
***
Setelah enam bulan terkurung di “penjara”, akhirnya aku bisa bersekolah lagi, walaupun masih harus menggunakan kruk. Aku tidak bisa bergabung lagi di Smadapala (pecinta alam). Keadaanku saat ini, sangat tidak memungkinkan untuk mendaki gunung. Menaklukkan tebing-tebing angkuh, berteriak di puncak tertinggi, meluapkan segala emosi yang terpendam. Mengajak “bicara” kepada Tuhan.
Dika mengajakku masuk Rohis (Rohaniah Islam) yang memang sudah dia ikuti sejak pertama masuk SMA. Namun, bongkahan batu karang masih bercokol kuat dihatiku. “Untuk apa aku mendekati Dia yang telah mengambil semua kebahagiaanku?” Sayangnya aku tidak punya alasan lagi untuk menolak ajakan Dika. Aku mengangguk demi menuruti permintaan orang yang selama ini selalu membantuku.
Dika mengajakku mengikuti kajian umum yang diadakan oleh Rohis di minggu kedua aku mulai sekolah. Aku dikenalkan dengan Mas Zakky. Kakak kelas dua tahun di atasku. Ketika aku menjulurkan tangan untuk menjabat tangannya, Mas Zakky menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum. Manis sekali. “Hei, apa yang salah? Apakah aku begitu menjijikkan sehingga dia tidak mau menyentuhku?” aku agak tersinggung.
Dika menjelaskan kepadaku bahwa mas Zakky adalah seorang Ikhwan. Dia tidak mau bersentuhan dengan orang yang bukan mukhrim. “Apa itu mukhrim?” aku bertanya-tanya tidak mengerti maksudnya.
Dika mengantarkanku menuju tempat duduk cewek. “Kenapa harus dipisah-pisah gini sih?” aku agak sebel karena harus berpisah dengan Dika. Seluruh cewek yang mengikuti kajian itu mengenakan jilbab besar. Hanya aku yang tidak menggunakan jilbab. Seperti noda hitam di atas baju putih. Sangat mengganggu penglihatan. Tiba-tiba aku merasa tidak nyaman dengan pakaianku. Aku menarik-narik rok pendek selutut mencoba membuatnya lebih panjang. Tetapi hanya sia-sia.
Aku agak terkejut ketika para jilbaber itu menyambutku ramah. Mereka membantuku duduk, meletakkan kruk di samping kursi, mengajakku ngobrol. Mengacuhkan perbedaan mencolok di antara kami. Penilaianku runtuh seketika mengenai para jilbaber yang terkesan sombong dan tidak mau bergaul dengan orang yang tidak “sealiran” dengan mereka.
Pembawa acara sudah naik ke atas panggung. Sebelum memasuki acara inti, ada sebuah performance dari sebuah grup nasyid. Salah satu personelnya adalah Mas Zakky yang tadi Dika kenalkan padaku. Lagu Maher Zain yang berjudul Open Your Eyes mengalun indah ditengah aula. Petikan gitar melodi Mas Zakky mengalun indah, merontokkan daun-daun kering dalam hatiku. Sejak saat itu, diam-diam aku mulai mengaguminya.
Sosok Mas Zakky yang sederhana dan cool abis sering datang begitu saja dalam lamunanku. Rasa kagum itu lama-kelamaan berubah menjadi cinta. Seperti setangkai bunga mawar yang tumbuh di batu karang yang keras. Aneh memang. Tapi seperti itulah cinta pertamaku. Mawar berduri itu tumbuh begitu saja tanpa ada yang menanam. Tidak bisa dimengerti bagaimana bunga itu bisa tumbuh di atas kerasnya batu karang.
Bagai pungguk merindukan bulan. Cewek bandel sepertiku tidak mungkin berjodoh dengan seorang ikhwan yang begitu patuh dan taat kepada-Nya.
Dika yang selama ini harus memaksaku dulu untuk ikut kajian, menjadi heran melihat tingkahku yang agak aneh. Aku menjadi rajin mengikuti kajian-kajian yang diadakan oleh Rohis. Alasannya tidak lain hanya karena ingin melihat Mas Zakky.
Beberapa bulan aktif mengikuti kajian dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Rohis sedikit banyak mengubah kehidupanku. Aku merasa lebih nyaman berada dekat dengan-Nya. Tidak perlu menggunakan palu besar untuk menghancurkan sebuah batu karang. Tetesan air yang terus menerus jatuh pun lama-lama bisa melubangi kerasnya batu karang itu. Aku merasa menemukan tempat untuk mengadu setiap masalah yang kuhadapi. Tidak perlu naik ke atas gunung, berteriak di atas puncak tertinggi untuk mengajak “bicara” kepadanya-Nya. Cukup bersimpuh di hadapan-Nya. Melakukan dialog interaktif dengan-Nya.
Allah memang sutradara kehidupan yang paling hebat. Tidak ada yang tahu alur ceritnya. Allah tidak selalu memberikan apa yang kita minta tapi Allah selalu memberikan apa yang kita butuhkan.
Menjelang akhir semester kedua, kondisiku semakin membaik. Sekarang aku tidak menggunakan kruk lagi. Tapi perasaanku tidak semakin membaik seiring membaiknya keadaan fisikku. Sebentar lagi ujian untuk tingkat SMA. Itu artinya Mas Zakky akan segera lulus. Aku tidak bisa melihatnya lagi.
***
“Bilqis, kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu terlihat murung.” Dika menyelidik, menangkap ada “sesuatu” yang aku sembunyikan.
“Dik,..” aku ragu ingin memberi tahunya tentang perasaanku terhadap Mas Zakky yang selama ini aku pendam. “Aku suka sama Mas Zakky, Dik. Tapi dia udah mau lulus. Gimana dong?”
“Mas Zakky tau perasaanmu?” ekspresi muka Dika berubah mendengar pernyataanku. Seperti ada yang disembunyikan. “Sejak kapan kamu suka sama dia?”
“Cuma aku yang tau. Aku juga nggak tau kapan perasaan ini muncul. Yang jelas, sekarang aku takut kehilanggannya. Apa yang harus aku lakukan?” rasa takut kehilangan itu menyesakkan dada.
“Ya bilang aja ke dia.” Jawab Dika singkat.
“Gila kamu ya? Nggak mungkin lah aku tiba-tiba ngomong ke Mas Zakky kalo aku suka sama dia. Selama ini aku kan cuma jadi secret admirer. Dan beginilah derita seorang pengagum rahasia, bisa mengetahui segala hal tentang dia, tetapi dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentangku. Bahkan mungkin tidak mengenalku.” Aku menghela nafas. “Lagian mana mungkin dia mau sama cewek bandel kaya aku. Nggak pantes banget aku buat dia.”
“Bilqis, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Jodoh itu cerminan dari diri kita. Orang yang baik itu pasti akan berjodoh dengan orang yang baik, dan kamu adalah orang yang baik. Tapi, dalam hatimu masih ada virus-virus kebencian kepada-Nya. Kamu selalu merasa bahwa Allah tidak mencintaimu. Tapi asal kamu tahu, Allah itu sesuai dengan prasangka hambanya. Kamu harus menjemput cinta-Nya untuk mendapatkan cinta yang lebih besar dari-Nya.” Dika menarik nafas.
Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan Dika. Semua yang dikatakan Dika benar.
“Kapan kamu akan pake jilbab?” pertanyaan Dika membuatku kaget.
“Aku belum siap, Dik.” Aku merasa masih berlumuran dosa. Tidak pantas mengenakan kerudung untuk menutupi auratku.
“Kapan kamu siap? Kalau kamu menunggu siap, kamu nggak akan pernah pake kerudung. Sama halnya jika aku tanya kapan kamu siap mati? Manusia tidak akan pernah merasa siap, Bilqis.” Dika menatapku tajam. “Apakah kamu tau? Setiap langkah wanita yang tidak menutupi auratnya adalah dosa. Berapa banyak dosa yang akan kamu pikul di setiap langkahmu?”
Kata-kata Dika selalu terngiang-ngiang di telingaku. “Kapan aku siap? Berapa banyak dosa yang akan kutorehkan di setiap langkahku?”
***
Tahun pelajaran sudah berganti. Kini aku mulai memasuki tahun kedua di SMA. Satu jam penuh aku mematung di depan cermin. Melihat bayangan sesosok gadis remaja menggunakan kerudung putih menutupi dadanya. “Ya Allah, semoga aku bisa mempertahankan jilbab ini. Semoga jilbab ini bisa melindungiku dari dosa yang kutorehkan disetiap langkahku.”
“Ayah, aku berangkat.” Aku mencium tangan Pak Santo -Ayah tiriku- dengan penuh ikhlas, bukan sekedar untuk menjaga perasaan Ibu. Bibirnya membentuk sebuah lengkung senyum bahagia.
“Ibu, Bilqis berangkat. Assalamu’alaikum.” Aku bergantian mencium tangan Ibu. Ada butir air mata di sudut matanya.
Teman-teman di sekolah terkejut dengan penampilan baruku. “Subhanallah, Bilqis kamu lebih cantik pake kerudung. Semoga bisa istiqomah ya.” Mereka menyalamiku satu persatu.
“Amiin, makasih ya.” Aku malu mendapat perlakuan yang hampir sama dari setiap teman yang berpapasan denganku.
“Assalamu’alaikum.” Dika agak terkejut mendengar salamku karena dia sedang sibuk berkutat dengan tugas matematikanya. Tidak sadar akan kehadiranku.
“Wa’alaikumsalam. Subhanallah, Bilqis si petualang kini telah berubah. Kamu terlihat lebih anggun pake kerudung..” Aku hanya tersenyum malu menanggapi perkataannya. “Eh, tapi kamu pake kerudung bukan karena Mas Zakky kan?”
“Ya nggak lah. Aku ingin menjemput cinta-Nya. Lagian Mas Zakky juga udah lulus. Kalo udah jodoh pasti nggak akan kemana. Hehe…” aku mengelak asumsi Dika. “Mas Zakky adalah hidayah terbesar dalam hidupku. Melalui dia, Allah membukakan pintu hatiku.”
***